Bermanfaat! Belajar Pengolahan Citra (Image Processing) !

Beberapa bulan lalu Saya tidak sedang berencana dan tidak berniat untuk mendekati dunia Image Processing yang sesungguhnya. Hingga akhirnya Saya terjebak ke dalam dunia yang sama sekali belum pernah Saya dekati. Keadaan ini terjadi ketika syarat untuk menyelesaikan pendidikan S2 menuntut untuk mempelajari teori dan aplikasi Image Processing. Walaupun tidak terlalu dalam, Saya bersyukur pernah mengenal dan mempraktekannya. Thanks God.

Mengutak-atik dan memodifikasi gambar (citra) adalah hobi Saya, dengan bantuan aplikasi “bajakan”, Saya telah melakukan berbagai manipulasi foto, membuat desain interface sebuah halaman website dan lain sebagainya. “Mungkin” kegiatan tersebut termasuk ke dalam kegiatan pengolahan citra (Image Processing), tapi kegiatan tersebut secara langsung tidak menyentuh teori dan aplikasi dasar image processing.

Adalah IP camera yang menuntun Saya melakukan penelitian yang terkait dengan image processing. Secara keseluruhan, Saya merancang sebuah sistem pemantau rumah yang digunakan oleh pengguna Speedy Rumahan. Sistem yang dirancang dimulai dari perencanaan Arsitektur sistem dengan berbagai perangkatnya. Sistem tersebut memiliki kemampuan untuk mendeteksi gerak (motion detection) yang terjadi ketika selama dilakukan automatic surveillance. Jika terdeteksi gerak, maka sistem akan memberikan notifikasi ke pengguna melalui berbagai perangkat mobile dan komputer yang dimiliki. Semacam notifikasi messanger yang biasa digunakan oleh pengguna Android, Blackberry, atau mungkin iPhone.

Jaringan yang digunakan sistem tersebut adalah jaringan internet. Jadi aplikasi yang dirancang adalah aplikasi berbasis web. Oleh karena itu Saya mengusahakan merancang sebuah aplikasi yang dapat mendeteksi gerak dengan menggunakan bahasa pemrograman WEB. Jadilah aplikasi PHP pendeteksi gerak. Prinsip pendeteksian gerak yang Saya lakukan adalah dengan cara membandingkan sebuah gambar referensi dengan gambar yang di capture oleh IP camera. Gambar referensi yang bisa digunakan adalah gambar kondisi sebuah ruangan yang sedang kosong dan tertata rapi. Selain itu gambar referensi juga mungkin menggunakan gambar yang di-capture sebelumnya.

Jadi secara periodik, sistem melakukan perbandingan antara gambar referensi dengan gambar yang di capture. Teknik perbandingan yang Saya gunakan dikenal dengan nama Frame Differences. Dimana dilakukan perbandingan masing-masing titik pixel gambar. Perbandingan yang dilakukan untuk 2 jenis gambar. Gambar RGB dan Grayscale.

Pembuatan, modifikasi dan pengujian yang Saya lakukan ternyata menuntun Saya lebih jauh mengenal teknik image processing. Secara perlahan Saya mulai membaca teori-teori dasar image processing, seperti, komponen warna, bermain pixel gambar, teknik-teknik scaling dan resizing gambar, filter gambar, konversi gambar dan lain sebagainya. Hampir sama dengan apa yang Saya lakukan ketika bermain aplikasi “bajakan” dalam memanipulasi foto. Tapi bedanya, kegiatan yang dilakukan dengan image processing langsung menyentuh titik-titik pixel gambar. Pada setiap titik tersebut dilakukan “komputasi” yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Di sanalah Saya mengenal istilah korelasi dan konvolusi citra. Penerapan metode ini akan menghasilkan berbagai macam filter gambar, persis seperti melakukan modifikasi gambar.

Sejak mengenal dunia image processing, Saya mulai menghayal untuk melakukan berbagai macam eksperimen yang terkait dengan web based application yang menerapkan teknik image processing. Tentunya sejauh yang Saya pahami. Saya jadi teringat, ketika kita menggunakan facebook dan melakukan upload gambar, bagaimana bisa si facebook bisa mengenali posisi wajah (Face Recognition), dan bahkan memberikan rekomendasi terhadap wajah-wajah tersebut? Sungguh, suatu yang luarbiasa, pastinya menerapkan berbagai macam teori, mungkin Artifical Intelligence, Image Processing dengan algoritma “lucu” yang bikin mummet!

Well, apapun itu, yang pasti kita harus mencoba untuk menjalaninya, sekalipun jika orang berkata sulit, tapi kita tidak akan pernah tau apakah “sulit” itu harus “didefinisikan ulang” ketika kita mulai menyentuhnya.