Masa Kecil, Saya Selalu Mengingatnya

Saya adalah sibungsu dari 5 orang bersaudara. Saya dilahirkan 24 tahun yang lalu di sebuah desa kecil yang terletak dipinggir jalan lintas Bukittingi – Payakumbuh. Tepatnya di Simpang Candung Kabupaten Agam. Orang tua saya tidak berasal dari daerah Agam (Baso atau IV Angkek Canduang / bagi orang Sumbar mungkin mengenal 2 daerah ini), melainkan dari daerah Mudiak Kabupaten 50 Kota, lebih tepatnya Kanagarian Maek. Sebuah Nagari yang dikelilingi oleh hutan yang tumbuh di tanah bukit barisan kabupaten 50 Kota. Nagari 1000 menhir. Begitu orang menyebutnya. Maek merupakan salah satu Nagari penghasil Gambir terbesar di Sumatera Barat. Kehidupan ekonomi rakyat Maek memang sangat tergantung dengan kondisi pedagangan Gambir, terutama harganya. Di sanalah kedua orang tua Saya dilahirkan. Walaupun dilahirkan di tanah Agam, Maek adalah salah satu-satunya kampung halaman, sedangkan Agam adalah tempat saya lahir dan tempat perjalanan masa kecil dimulai. Penuh dinamika, kebahagiaan dan pengalaman yang luar biasa.

Salah Satu Menhir Terbesar di Maek

Masa kecil saya jalani dengan sangat bahagia dengan para saudara. Secara ekonomi, keluarga kami terbilang biasa dan bisa dikatakan sederhana, namun itu bukanlah halangan untuk menunjukkan kebahagiaan dan keharmonisan keluarga pada saat itu.  Keseharian Saya jalani seperti anak-anak kampung minang pada umumnya. Pagi sekolah dan sorenya mengaji atau bermain-main dengan teman di sekitar rumah, di sekitar kampung dan bahkan antar kecamatan. Biasanya orang tua tidak pernah melarang kegiatan-kegiatan yang saya lakukan pada saat itu. Begitu juga dengan kami, kami paham dan tidak merepotkan kedua orang tua, kecuali terjadi hal-hal tertentu yang harus diselesaikan orang tua.

Menhir Maek - Juli 2011

Saya ingat, setiap jadwal sekolah, biasanya setiap pagi mama selalu menyiapkan air panas untuk kami berlima. Karena memang tampat tinggal kami berada di daerah kaki gunung Marapi di daerah IV Angkek Canduang yang terkenal dingin. Tepatnya desa Ampang Gadang. Hampir setiap pagi kami mandi dengan air panas yang telah disiapkan. Perjalanan menuju sekolah dilalui dengan berjalan Kaki. Kadang melewati jalanan Tanjuang Alam- Pasir dan kadang memotong jalan melewati pematang sawah yang terdapat di Nagari Ampang Gadang.  Begitu juga pulang sekolah, biasanya kami pulang bergerombol sesuai dengan arah rumah masing-masing. Hah, alangkah bersemangatnya pada saat itu, sedikitpun beban pikiran belum memberatkan kami, yang kami tau hanya melakukan aktifitas keseharian seperti sekolah, belajar, makan, bermain dan aktifitas anak-anak yang hidup di kampung pada umumnya.

Bersama Saudara-Saudara - Saya yang paling Kecil

Saat itu saya menyadari kesibukan orang tua yang bekerja menafkahi kami berlima. Apalagi papa, di hari-hari kerja mungkin kami jarang bertemu. Biasanya Papa pulang sore hari setelah sholat Ashar. Papa pulang mengendarai Motor Honda GL125. Motor yang “katanya” dibelikan oleh mertua beliau, orang tua mama, Datuk Saya. Jika motor papa sudah berada di rumah, berarti waktu bermain sudah hampir selesai untuk hari itu. Saya sudah harus mandi dan siap untuk mengikuti sholat magrib berjamaah. Waktu itulah yang paling tepat untuk berkumpul dengan semua keluarga. Jika salah seorang anggota keluarga tidak hadir atau telat sholat berjamaah, berarti akan menjadi perhatian Papa. Siapapun dari kami tidak menginginkan hal itu, jadi kami sudah terbiasa dengan hal itu. Setelah sholat berjamaah, biasanya kami kami makan malam bersama dan saling bercengkrama satu sama lain. Begitu seterusnya.

Banyak permainan yang kami mainkan pada saat itu, mulai dari permainan berkelompok, seperti “patuak lele”, “Pulau Galah”, kasti dan permainan yang kami ciptakan sendiri. Saat kecil saya jarang dibelikan mainan, tapi itu bukan halangan untuk bermain. Membuat mainan sendiri adalah solusinya. Banyak perlatan dan bahan yang bisa kami gunakan untuk membuat mainan. Selain itu, lahan-lahan persawahan, kebun-kebun dan sungai-sungai kecil telah menyediakan wadah permainan yang luar biasa bagi kami (Saya, saudara dan teman-teman). Sebut saja pistol-pistolan. Biasanya kami membuat pistol-pistolan dari papan yang digunakan untuk membuat box pengiriman barang. Memang salah satu tetangga di sekitar lingkungan kami bekerja membuat boks-boks tersebut. Sesekali kami sempat meminta izin untuk mengambil papan yang mungkin bisa kami gunakan untuk membuat pistol-pistolan. Kadang diizinkan dan kadang dilarang.

Bermain layangan. Saat kecil, memuat layangan adalah hal yang sangat rumit bagi saya, tak jarang saya meminta dibuatkan layangan kepada “mamak/om” saya, berbeda dengan suadara saya yang lain, mereka membuat layangan mereka sendiri. Terkadang membuat layangan membutuhkan waktu yang lama, cara yang paling cepat adalah dengan membeli layangan “layang-layang maco (begitu kami menyebutnya)” di kedai-kedai terdekat. Mencari benang bukanlah hal yang sulit dan bahkan sangat mudah di dapatkan, karena daerah tempat tinggal kami pada saat itu adalah daerah konveksi. Daerah yang mayoritas usaha penduduknya berprofesi sepabai penjahit berbagai macam pakaian. Hampir setiap rumah memiliki usaha itu. Benang sangat tersedia dan mudah didapatkan. Setelah layangan jadi, kami selalu menerbangkannya di daerah persawahan yang terletak di belakang rumah. Daerah yang terhampar di kaki gunung Marapi pada saat itu. Alhamdulillah saya masih bisa mengingatnya.

Bermain mobil-mobilan. Terkadang saya merasa iri dengan teman-teman yang memiliki mainan. Mereka memiliki mainan yang dibeli di pasar. Bukannya orang tua tidak mampu membelikan, namun ada keperluan yang lebih penting pada saat itu. Kami selalu berusaha untuk membuat mobil-mobilan sendiri. Membuat mobil-mobilan memang susah, akan tetapi tetap akan selesai jika dikerjakan setiap harinya. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat mainan adalah papan, sandal jepit bekas, paku dan bambu.  Papan digunakan untuk membuat bodi mobil-mobilan yang dibentuk sesuai dengan keinginan, bodi dibentuk dengan menggergaji papan dan dipakukan. Sendal jepit kami gunakan untuk membuat roda mobil-mobilan, sumbu roda dibentuk dengan menggunakan bambu. Selain itu, bambu juga digunakan untuk membuat setir mobil-mobilan yang terhubung ke sumbu roda depan. Tangkai setir ini digunakan untuk menggerakkan dan mengatur arah mobil-mobilan. Tinggi tangkai setir disesuaikan dengan  tinggi tangan kami. Untuk melewatkan tangkai setir, bagian tengah depan sasis dan atap mobil-mobilan harus dilubangi. Kira-kira begitulah gambaran mobil-mobilan  kami pada saat itu. Ketika Saya belum bisa membuat mobil-mobilan, 2 orang saudara saya sempat membuat mobil truk yang biasa mereka mainkan untuk mengangkut pasir, Saya juga masih mengingatnya.

Badia-badia Batuang. Adalah salah satu permainan yang menyerupai meriam perang. Badia adalah bahasa minang dari kata bedil, dan batuang berarti buluh atau bambu besar. Permainan ini terbilang berbahaya dan kadang menggangu ketenangan. Berbahaya karena menggunakan minyak tanah dan api ketika memainkannya. Jika bermainan di perumahan, kebakaran mungkin hal yang paling buruk terjadi, oleh karena itu bermain permainan ini harus dilakukan di tempat yang aman. Mengganggu ketenangan karena permainan ini akan menghasilkan bunyi dentuman yang besar, dan terkadang mengagetkan. Bagi kami, membuat mainan ini tidaklah rumit, hanya membutuhkan buluh yang mudah didapatkan di tempat kami. Karena beberapa pohon buluh besar terdapat di lingkungan tempat kami bermain. Hal yang paling rumit adalah ketika tetangga merasa terganggu dengan permainan itu, jangankan tetangga, orang tua kamipun sering marah ketika permainan itu dimainkan saat beliau berada di rumah.  Kalau orang tua marah, permainan harus dihentikan. Permainan ini biasanya kami mainkan ketika bulan ramadhan. Untuk mengisi waktu malam setelah sholat tarawih di mesjid, kalaupun dimainkan siang hari, berarti kami harus bermain di daerah yang jauh dari pemukiman. Sehingga tidak mengganggu ketenangan.

Sejak menyelesaikan SD di Desa Ampang Gadang, Saya dan keluarga pindah ke kota Padang. Perlahan permainan itu mulai saya tinggalkan. Tidak ada tempat yang cukup untuk memainkan permainan-permainan itu di kota Padang, khususnya di komplek tempat saya bermukim. Komplek tersebut terbilang padat dan rapat. Lahan yang ada hanya halaman depan rumah yang lebarnya lebih kurang 1,5 meter. Sangat berbeda dengan rumah saya di Ampang Gadang. Sejak saat itu permainan lebih banyak saya lakukan di sekolah atau melalui permainan-permainan digital yang dimainkan di komputer. Walaupun demikian, hingga saat ini saya masih mengingat pengalaman masa kecil yang luar biasa tersebut. Saya sangat berterimakasih kepada Allah, karena telah memberikan masa kecil yang luar biasa itu kepada saya. Permainan yang sempat saya cicipi selama lebih kurang 6-7 tahunan. Mungkin permainan itu bukanlah permainan yang elegan dan mahal untuk kalangan tertentu. Akan tetapi banyak “kreatifitas” dan “pengalaman” dibalik semua permainan itu. Keadaan lingkungan juga sangat mungkin membuat hal yang demikian terjadi.

Itulah sedikit cerita masa kecil yang akan saya ingat selalu.

Isaninside Yogyakarta – Pembuka Desember 2011

Comments

    1. Post
      Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *